Rabu, 08 Desember 2010

Keistimewaan Yogyakarta Jangan Diganggu Gugat

Kamis, 09/12/2010 08:27 WIB
Keistimewaan Yogyakarta Jangan Diganggu Gugat 
Efriza - detikNews





Jakarta - Kisruh di seputar keistimewaan Yogyakarta mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus berlangsung. Kini memasuki ranah yang lebih serius mengenai keinginan masyarakat Yogyakarta untuk referendum terhadap permasalahan tersebut. Jika dibiarkan berlarut-larut ke depannya akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Perdebatan ini berawal dari pernyataan Presiden Yudhoyono di depan sidang kabinet. Soal monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi pada 26 November lalu.

Dalam perkembangan kasus ini Pemerintah tetap bersikeras. Agar kepala daerah dipilih melalui pemilihan yang demokratis. Dengan alasan menghargai dan menghormati UUD 1945, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis", sehingga draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan, tetap dipertahankan.

Mekanisme pemilihan merupakan sikap resmi yang disampaikan pemerintah, yang kini dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Sikap ini juga ditunjukkan oleh Fraksi Partai Demokrat di DPR. Sedangkan, fraksi-fraksi lain, seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan PDI Perjuangan, setuju dengan penetapan.

Perdebatan ini masih akan terus bergulir. Karena pemerintah mengulur waktu menyampaikan draf rancangan undang-undang ini sehingga tugas parlemen untuk mulai memperdebatkannya, menyempurnakan draf itu, termasuk juga menolaknya dan membuat versi lain, terhambat oleh sikap pemerintah yang menunda tersebut.

Terhadap sikap pemerintah ini yang merujuk kepada Pasal 18 ayat (4) tersebut, masih dapat diperdebatkan. Memang tak bisa dipungkiri pemilihan kepala daerah telah diselenggarakan atas adanya klausul pasal 18 ayat (4) tersebut melalui amandemen UUD 1945 pada tahun 2000 lalu.

Namun, untuk Pemilihan Gubernur di Yogyakarta, semestinya pemerintah membaca kembali rujukan UU No 32 Tahun 2004 yang telah mengatur secara limitatif dalam Pasal 226 ayat (2) yang berbunyi, "Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU No  22 Tahun 1999, adalah, tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini". Jadi penyelenggaraan pemerintahan tetap merujuk UU ini.

Rujukan UU No 32 Tahun 2004 itu tepat dengan semangat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18B ayat (1) yang menyatakan, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dengan undang-undang".

Jika pemerintah tetap memaksakan untuk menggunakan Pasal 18 ayat (4) tersebut, dengan argumentasi bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, sepertinya pemerintah melupakan. Bahwa, rujukan tersebut sekarang ini masih tetap diperdebatkan oleh banyak kalangan. Terutama yang menolak untuk Pemilihan Gubernur di seluruh Indonesia dipilih langsung.

Bagi mereka rujukan Pasal 18 ayat (4) itu hanya mencantumkan kata-kata dipilih secara demokratis, yang menimbulkan asumsi bahwa DPRD tempo lalu dalam memilih Gubernur juga demokratis. Misal, bagi Mantan Anggota KPU Mulyana W Kusumah, bahwa "Tidak ada perintah konstitusi bahwa pilkada harus dipilih oleh rakyat secara langsung. Aturan itu beda dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat".

Bahkan, Mulyana menegaskan, Pasal 18 ayat (4) juga menyatakan, kepala daerah dan wakilnya tidak dipilih dalam satu paket (pasangan). "Dengan kata lain konstitusi memang tidak mengamanatkan dilakukannya pilkada langsung".

Asumsi mereka memang dapat dibenarkan karena rujukan Pemilu dalam konstitusi kita tidak seragam. Misal, Dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 dirumuskan: "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat". Kemudian Pasal 18 ayat (4) dikatakan: "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis".

Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat (1) disebutkan: "Anggota DPR dipilih melalui pemilu". Lalu Pasal 22C ayat (1) disebutkan bahwa "Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu". Dengan demikian tampak jelas tidak adanya keseragaman dalam merujuk kepada hal yang sama, yaitu pemilu. Seharusnya kata-kata tersebut diseragamkan dengan menggunakan istilah yang baku: "dipilih melalui pemilu".

Dari perdebatan ini mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta semestinya tetap dipertahankan. Selain untuk penghormatan pemerintah terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga pelestarian kebudayaan kita.

Semestinya dilakukan oleh pemerintah dan DPR bukan memperdebatkan sesuatu yang telah disepakati tetapi membuat aturan yang terperinci tentang UU Keistimewaan Yogyakarta. Misal tentang prosedur mangkat, atau mekanisme jika terjadi perebutan kekuasaan antara Kesultanan dan Paku Alam dikemudian hari. Banyak lagi persoalan ini yang semestinya harus dijawab dan dimasukkan dalam UU Keistimewaan Yogyakarta ke depan.

*) Efriza adalah penulis buku "Parlemen Indonesia Geliat Volksraad Hingga DPD, Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Esok"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar